Selasa, 05 Januari 2010

Standar Pengelolaan Pendidikan

Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International

Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International
(Sekolah Bertaraf Internasional)
Di Susun dan Di Edit oleh:
(Implementer)
Bpk. Endang J*. S.Pd., Drs. Ahmad S*., Drs. Nanang S.*
SMAN 1 Kota Banjar, Jawa Barat. Indonesia.

Arip Nurahman
Department of Physics Education Indonesia University of Education, Bandung Indonesia
and
Follower Open Course Ware at Massachusetts Institute of Technology (MIT), Harvard University. Cambridge M.A., USA.


Apakah SBI ini akan membuat kita dapat mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara-negara lain?

Tunggu dulu.

Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.

Mengapa? Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini.

Pertama, program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut.

Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini.

Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?

Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar di luar negeri.

Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional karena mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka di universitas di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya.

Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti LN karena nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara. Permasalahannya adalah berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri?

Berapa persenkah dari lulusan sekolah publik kita yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri? Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge?

Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge,umpamanya, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang sangat misleading.

Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti dua kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge umpamanya, karena akan sangat menyulitkan bagi sekolah maupun murid untuk mengikuti dua kiblat tersebut. Beberapa sekolah National Plus yang selama ini memang dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus. (Bpk. Satria Dharma, Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE))


What makes a good school?

In today's public schools, where diversity is vast and complex, a good school must provide a strong functioning culture that aligns with their visionof purpose. Good schools depend on a strong sense of purpose and leadership. However, in order to build a culture that is integral to school life, principals must gear their students, faculty, and staff in a common direction and provide a set of norms that describes what they should accomplish.

Sergiovanni (2001) elaborates on the principal's influence in shaping school culture by stating that, once established in a school, strong culture acts as a powerful socializer of thought and programmer of behavior. Yet, the shaping and establishment of such a culture does not just happen; they are, instead, a negotiated product of the shared sentiments of school participants.

When competing points of view and competing ideologies exist in school, deciding which ones will count requires some struggling. Principals are in an advantageous position to strongly influence the outcome of this struggle.

The building of school culture further requires that building leaders pay close attention to the informal, subtle or symbolic aspects of school life. Teachers, parents, and students should look for answers to questions such as:

1. What is this school about?

2. What is important here?

3. What do we believe in?

4. Why do things function the way they do?

5. How do I fit into the scheme of things?

As Greenfield (1973) stated, what many people seem to want from schools is that schools reflect the values that are central and meaningful in their lives. If this view is correct, schools are cultural artifacts that people struggle to shape in their own image. Only in such forms do they have faith in them; only in such forms can they participate comfortably in them.

Leaders of successful schools develop moral order that bind the people around them together. When establishing culture, principals must be able to infuse various ideas, beliefs, values, theories and decision making into their school. Collaborative discourse is a powerful tool that can be used to facilitate the process of developing school culture and climate.

Leaders, who look to build their school communities, must recognize that educators, who work together, achieve a collective purpose resulting from their collegiality, which is critical in establishing a successful school. However, for meaningful collaboration to occur, capacity building must take place. Capacity building has frequently appeared in educational literature across the United States.

Ann Lieberman (1997) coined this term which means, organizing schools for improvement by allowing teachers to work in teams and with instructional leaders to channel staff efforts towards a clear, commonly shared purpose for student learning. When channeled correctly, these habits and conditions allow staff members to work and contribute to a professional community.

Such communities are places where teachers, specialist and building administrators engage in decision making, have a shared sense of purpose and work to support an infrastructure that involves alignment of instructions goals. Newmann and Wehlage in their 1995 work, Successful School Restructuring, firmly link student achievement to the effective work habits of adults stating that the most successful school were those that used restructuring to help them as professional communities.

Teachers and leaders collaborate and help one another achieve the purpose of student learning. Teachers and instructional supervisors in these schools help one another take responsibility for academic success. These schools which maintain a strong professional community are better able to offer authentic pedagogy and are more effective in promoting student achievement.

School leaders who give their attention to establishing their school culture by addressing the question, what is this school about, begin with a period of organization as the school initiates new collaborative processes that relates to norms, teams, vision, use of data, shared expectations, and ways of working together.




Standar Pengelolaan Pendidikan.

Sebagaimana juga telah ditetapkan dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005, dan lebih dijabarkan dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 bahwa “setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pengelolaan pendidikan yang berlaku secara nasional”, beberapa aspek standar pengelolaan sekolah yang harus dipenuhi adalah meliputi:

(1) perencanaan program,
(2) pelaksanaan rencana kerja,
(3) pengawasan dan evaluasi,
(4) kepemimpinan sekolah/madrasah, dan
(5) sistem informasi manajemen.

Standar perencanaan program sekolah meliputi: rumusan visi sekolah, misi sekolah, tujuan sekolah, rencana kerja sekolah. Standar pelaksanaan rencana kerja sekolah, maka harus terpenuhi dan terealisasi beberapa aspek dalam penyelenggaraan pendidikan yaitu: kepemilikan pedoman-pedoman sekolah yang mengatur berbagai aspek pengelolaan secara tertulis, struktur organisaisi sekolah, pelaksanaan kegiatan, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya danyang berlaku secara nasional lingkungan sekolah, dan peran serta masyarakat dan kemitraan.

Standar pengawasan dan evaluasi yang harus juga dipenuhi dan dilaksanakan sekolah adalah: aspek-aspek program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi dan pengembangan, evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan, dan akreditasi sekolah. Kepemimpinan sekolah yang diharapkan dapat dipenuhi oleh sekolah antara lain: adanya kepala sekolah yang memenuhi persyaratan, minimal satu wakil kepala sekolah yang dipilih secara demokratis, kepala sekolah memiliki kemampuan memimpin (pengetahuan, keterampilan, dan perilaku) sekolah, dan terdapat pendelegasian sebagian tugas dan kewenangan kepada wakilnya.

Sedangkan sistem informasi manajemen (SIM) merupakan suaru sistem yang mengaplikasikan berbagai bidang pendidikan berbasiskan komputer/internet. Hal ini diharapkan dapat dipenuhi oleh sekolah untuk mengelola dan hiendukung berbagai administrasi sekolah, memberikan fasilitas yang efisien, dan sebagai bentuk layanan informasi dan komunikasi kepada para pemangku kepentingan.



MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH
Oleh Suparlan *)
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik
(Mahatma Gandhi)
Pertama, kita bentuk kebiasaan-kebiasaan kita. Setelah itu, kebiasaan-kebiasaan tersebutlah yang akan membentuk kita
(John C. Maxwell)

Kurang lebih satu jam sebelum menulis artikel ini, penulis sangat prihatin karena telah membaca e-mail tentang kesadisan seorang guru di Jombang yang telah menampar muridnya. Sebelumnya ada berita tentang seorang guru SMK yang telah menampar sekian orang siswanya. Bahkan jauh sebelumnya kita tentu mendengar berita di sebuah institutut pemerintahan dalam negeri (IPDN) -- yang mencetak birokrat pemerintahan -- telah berlangsung lama adanya bentuk-bentuk kekerasan para senior terhadap yuniornya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, budaya sekolah (school culture) yang seperti apakah sebenarnya yang ada di lembaga-lembaga pendidikan tersebut? Apakah lembaga pendidikan itu adalah lembaga pendidikan yang angker, seperti tempat yang menakutkan, atau lembaga pendidikan yang amburadul, seperti pasar yang kumuh, yang semua orang bebas keluar masuk, atau lembaga pendidikan yang terbuka, tertib, bersih, dan sehat.

Seperti apa lembaga pendidikan yang akan kita bangun, amat tergantung pada banyak faktor, mulai kondisi SDM-nya seperti kepala sekolah sampai dengan tenaga pendidik dan tenaga administrasinya sampai dengan peserta didiknya. Budaya sekolah juga amat dipengaruhi oleh sistem manajemen dan organisasinya, serta fasilitas sekolah yang mendudungnya. Suatu lembaga pendidikan berasrama milik militer atau kepolisian akan terlihat mulai dari adanya sistem penjagaan yang ketat. Begitu masuk pintu gerbang lembaga itu suasana itu sudah mulai terasa. Dua penjaga bersenjata lengkap berdiri di depan pos jaga yang siap akan menanyakan kepada semua tamu yang datang. Penjaga itu bisa saja siswa piket atau petugas outsourcing yang ditugasi untuk itu. Itulah budaya kasat mata yang dapat segera kita lihat.
Ada sebuah sekolah dasar yang lokasinya berada di kompleks perumahan. Para orangtua siswa atau para pengantarnya bergerombol di depan pintu gerbang sekolah. Bahkan para pedagang kecil membuka dagangannya di depan gedung sekolah. Suasananya bak pasar tumpah yang ramai. Para siswa mondar-mandir keluar-masuk sekolah. Kadangkala bersama dengan bapak ibu guru yang buru-buru masuk sekolah karena bel telah berbunyi keras sekali. Dan para siswa pun kemudian bersorak lari ke ruangan kelasnya masing-masing.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk budaya sekolah yang mencerminkan wajah lembaga pendidikan sekolah itu. Tulisan singkat ini akan menggambarkan beberapa budaya sekolah dan karakteristiknya.
Apakah budaya sekolah itu?
Peterson (1999) menjelaskan “school culture is the behind-the-scenes context that reflects the values, beliefs, norms, traditions, and rituals that build up over time as people in a school work together” Lebih dari itu, Peterson juga menambahkan bahwa budaya sekolah “influences not only the actions of the school population, but also its motivations and spirit”. Budaya sekolah adalah konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan nilai-nilai, norma-norma, tradisi-tradisi, rutual-ritual, yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya kepada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya. Dalam konsep sekolah efektif (effective school), budaya sekolah sering disebut sebagai suasana sekolah (school climate), dimaknai sebagai bagaimana warga sekolah berfikir dan bertindak.
Apakah Budaya Sekolah Berpengaruh Terhadap Pendidik dan Keberhasilan Siswa?
Sudah barang tentu, budaya sekolah dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, termasuk kepada pendidik dan peserta dididk. Budaya sekolah berpengaruh terhadap bagaimana pendidik berhubungan dan bekerja sama dengan semua warga sekolah, dengan sesama pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, pegawai tata usaha sekolah, dan juga kepada masyarakat. Nilai-nilai sosial budaya sangat berpengaruh terhadap bagaimana sekolah menghadapi masalah sekolah, dan sekaligus memecahkan masalahnya, termasuk masalah hasil belajar peserta didik.
Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya baru yang tumbuh dalam masyarakat. Ketika masyarakat masih memiliki paradigma lama dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya kepada sekolah, maka lahirlah satu bentuk hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat yang sangat birokratis. Orangtua dan masyarakat berada di bawah perintah kepala sekolah.
Tiga Model Budaya Sekolah dan Karakteristiknya
Dalam praktik di lapangan, ada tiga model budaya sekolah, yang satu dengan yang lain dapat dibedakan, tetapi kadang-kadang juga sering saling tumpang tindih. (Spahier & King, 1984 [as cited in Butler & Dickson, 1987])
Pertama, budaya sekolah birokratis (bureaucratic school culture). Model budaya sekolah ini antara lain ditunjukkan adanya budaya yang menekankan adanya petunjuk dari atasan. Kebijakan sekolah mengikuti arahan dari atasan, dan oleh karena itu para guru lebih banyak mengikuti arahan tersebut. Pendidik juga kurang dapat berinteraksi dengan orangtua siswa dan masyarakat, karena semua harus mengikuti peraturan dan ketentuan dari atasan.
Kedua, budaya sekolah racun (toxic school culture). Dalam model ini, peserta diddik dipandang sebagai masalah ketimbang sebagai pihak yang harus dilayani. Bentuk-bentuk kekerasan guru terhadap siswa yang sering kita dengar akhir-akhir ini merupakan hasil dari budaya sekolah yang seperti ini. Sama dengan pada model budaya sekolah yang birokratis, budaya sekolah racun ini juga malah jarang memberikan kesempatan kepada pendidik untuk memberikan masukan terhadap upaya pemecahan masalah yang terjadi di sekolah.
Ketiga, budaya sekolah kolegial (collegial school culture). Berbeda dengan kedua budaya sekolah sebelumnya, sekolah sangat memberikan apresiasi dan rekognisi terhadap peran dan dukungan dari semua pihak. Kejujuran dan komunikasi antarwarga sekolah dapat berlangsung secara efektif. Itulah sebabnya keterlibatan semua warga sekolah sangat dihargai dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Pendek kata, semua penyelenggaraan sekolah direncanakan, dilaksanakan secara demokratis, dalam suasana penuh kolegial.
Budaya sekolah apa saja yang harus dibangun?
Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Ingin menanam benih-benih kejujuran dalam masyarakat? Tanamlah di sekolah. Demikian seterusnya dengan benih-benih nilai-nilai sosial budaya lainnya. Dalam tulisan singkat ini hanya diberikan beberapa contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus ditanam di ladang bernama sekolah.
1. Pertama, kebiasaan menggosok gigi. Kebiasaan ini sangat Islami. Nabi Muhammad SAW selalu melakukan “siwak” dalam kehidupan sehari-harinya. Ada nilai religius dan medis yang dapat dipetik dari kebiasaan ini. Ucapan yang baik akan berasal dari mulut yang bersih. Secara medis, gigi dan mulut yang bersih akan berdampak terhadap kesehatan otak kita. Hasilnya sama dengan tinjauan dari sudut pandang religius.
2. Kedua, etika. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain yang bernama ibu dan ayah kita, dan kemudian hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang lain.
3. Ketiga, kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain. Kejujuran itu harus dibangun di sekolah. Bukan sebaliknya. Dari tinjauan inilah barangkali KPK telah membuat program kantin kejujuran di ribuan sekolah di negeri ini. Konon, materi materi matapelajaran matematika modern seharusnya menghasilkan manusia yang jujur di negeri ini. Apalagi dengan materi pelajaran Pendidikan Agama. Tetapi nyatanya tidak demikian. Malah telah menghasilkan banyak koruptor. Materi tentang penjumlahan, pengurangan, dan perkalian ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan materi tentang pembagian. Hasilnya, membagi kasih sayang, membagi pemerataan, dan membagi kebahagiaan ternyata jarang dilakukan ketimbang mengumpulkan hasil korupsi, mengalikan bunga bank untuk kekayaan pribadi. Oleh karena itu, maka budaya kejujuran harus dapat dibangun di sekolah.
4. Keempat, kasih sayang. Penulis pernah mengutip pandangan guru besar IKIP Surabaya, yang menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1) kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing sayang telah melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
5. Kelima, mencintai belajar. Mana yang lebih penting? Apakah menguasai pelajaran atau mencintai belajar? Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu. Dari sini lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada menghafalkan fakta dan data.
6. Keenam, bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab. Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa tanggung jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari keluarga.
7. Ketujuh, menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan peraturan karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
8. Kedepalapan, menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang lain karena berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang kita peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri sendiri ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.
9. Kesembilan, mencintai pekerjaan. Ingin berbahagia selamanya, maka bekerjalah dengan senang hati. Ini adalah kata-kata mutiara yang selalu melekat di hati. Pekerjaan adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai pekerjaan.

10. Kesepuluh, suka menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil pekerjaan kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang daripada pasak”. Tidak mempunyai penghasilan cukup tetapi tetap melakukan pola hidup konsumtif. Penghasilan pas-pasan, tetapi tetap menghabiskan uangnya untuk tujuan yang mubazir, seperti merokok. Kita masih jarang memiliki semangat menabung untuk masa depan.
11. Kesebelas, suka bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama di pedesaan kita. Pagi-pagi masih berkerudung sarung. Padahal, setelah shalat Subuh, kita diharuskan bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Untuk ini, suka bekerja harus menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.

12. Keduabelas, tepat waktu. Waktu adalah pedang, adalah warisan petuah para sahabat Nabi. Time is money adalah warisan para penjelajah ”rules of the waves” bangsa pemberani orang Inggris. Sebaliknya, jam karet adalah istilah sehari-hari bangsa sendiri yang sampai saat ini kita warisi. Mengapa warisan ini tidak dapat segera kita ganti? Maka tanamlah benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah kita.
Sudah barang tentu masih banyak lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam melalui ladang lembaga pendidikan sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk melalui proses pendidikan dan pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat kita. Amin.

References:
Barth, R. (1990). Improving schools from within. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Covey, S. (1990). Principle-centered leadership. New York: Simon & Schuster, Inc.

Goldhammer, R. (1980). Clinical supervision: Special methods for the supervision of teachers.New York:
Holt.

Greenfield, Thomas B (1984). Leaders and schools: Willfulness and non-natural order, in Thomas Sergiovanni and John E. Corbally (Eds.), Leadership and Organizational Cultur. Urbana-Champaign: University of Illinois Press.

Hoy, W., & Forsyth, P. (1986). Effective supervision: theory into practice. New York: McGraw-Hill Company.
Karp, S. (2005). The trouble with takeover. Educational Leadership, 62, (5), 28-32.

Lashway, L. (2003, July). Role of the school leader. Retrieved Feb 12, 2004, from http://eric.uoregon.edu/trends_issues/rolelead/index.html#providing

Lambert, L. (1998). Building leadership capacity in schools. Alexandria, VA: ASCD.
McEwan, E. (2003). 7 steps to effective instructional leadership. 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Corin Press.

McQuarrie, F., Wood, F. (1991, August). Designs on the job learning. Retrieved Feb 12, 2005, from http://www.nsdc.org/library/publications/jsd/wood203.pdf

Newmann, F., Wehlage T. (1996). Authentic achievement: Restructuring schools for intellectual quality. San Francisco, CA:
Jossey-Bass. Patterson, W. (2003). Breaking out of our boxes. Phi Delta Kappan, 84, (8), 569-577.

Sergiovanni, T. (2001). The Principalship: A reflective practice. 5th ed. San Antonio, TX: Trinity Press.

http://www.idonbiu.com/2009/07/standar-pengelolaan-pendidikan.html

Senin, 04 Januari 2010

Standar Sarana dan Prasarana Sekolah

Standar Sarana dan Prasarana Sekolah
Posted by d2n5r0 at 22:55
bsnp-indonesia.org/id/?p=372

LATAR BELAKANG
Pelaksanaan pendidikan nasional harus menjamin pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan di tengah perubahan global agar warga Indonesia menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas, produktif, dan berdaya saing tinggi dalam pergaulan nasional maupun internasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan tersebut, Pemerintah telah mengamanatkan penyusunan delapan standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan nasional berpusat pada peserta didik agar dapat:


(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Untuk menjamin terwujudnya hal tersebut diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana yang memadai tersebut harus memenuhi ketentuan minimum yang ditetapkan dalam standar sarana dan prasarana.Standar sarana dan prasarana ini untuk lingkup pendidikan formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Standar sarana dan prasarana ini mencakup:
1. kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah,
2. kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah.
PENGERTIAN
1. Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah.
2. Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.
3. Perabot adalah sarana pengisi ruang.
4. Peralatan pendidikan adalah sarana yang secara langsung digunakan untuk pembelajaran.
5. Media pendidikan adalah peralatan pendidikan yang digunakan untuk membantu komunikasi dalam pembelajaran.
6. Buku adalah karya tulis yang diterbitkan sebagai sumber belajar.
7. Buku teks pelajaran adalah buku pelajaran yang menjadi pegangan peserta didik dan guru untuk setiap mata pelajaran.
8. Buku pengayaan adalah buku untuk memperkaya pengetahuan peserta didik dan guru.
9. Buku referensi adalah buku rujukan untuk mencari informasi atau data tertentu.
10. Sumber belajar lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi jurnal, majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.
11. Bahan habis pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.
12. Perlengkapan lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendukung fungsi sekolah/madrasah.
13. Teknologi informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi.
14. Lahan adalah bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana sekolah/madrasah meliputi bangunan, lahan praktik, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan.
15. Bangunan adalah gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.
16. Ruang kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktik yang tidak memerlukan peralatan khusus.
17. Ruang perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka.
18. Ruang laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktik yang memerlukan peralatan khusus.
19. Ruang pimpinan adalah ruang untuk pimpinan melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/madrasah.
20. Ruang guru adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat, dan menerima tamu. 21. Ruang tata usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/madrasah.
22. Ruang konseling adalah ruang untuk peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
23. Ruang UKS adalah ruang untuk menangani peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan dini dan ringan di sekolah/madrasah.
24. Tempat beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah.
25. Ruang organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi peserta didik.
26. Jamban adalah ruang untuk buang air besar dan/atau kecil.
27. Gudang adalah ruang untuk menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/madrasah.
28. Ruang sirkulasi adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/madrasah.
29. Tempat berolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.
30. Tempat bermain adalah ruang terbuka atau tertutup untuk peserta didik dapat melakukan kegiatan bebas.
31. Rombongan belajar adalah kelompok peserta didik yang terdaftar pada satu satuan kelas.
PRASANA SEKOLAH
Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. laboratorium IPA,
4. ruang pimpinan,
5. ruang guru,
6. tempat beribadah,
7. ruang UKS,8. jamban,
9. gudang,
10. ruang sirkulasi,
11. tempat bermain/berolahraga.
Sebuah SMP/MTs sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. ruang laboratorium IPA,
4. ruang pimpinan,
5. ruang guru,
6. ruang tata usaha,
7. tempat beribadah,
8. ruang konseling,
9. ruang UKS,
10. ruang organisasi kesiswaan,
11. jamban,
12. gudang,
13. ruang sirkulasi,
14. tempat bermain/berolahraga.
Sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. ruang laboratorium biologi,
4. ruang laboratorium fisika,
5. ruang laboratorium kimia,
6. ruang laboratorium komputer,
7. ruang laboratorium bahasa,
8. ruang pimpinan,
9. ruang guru,
10. ruang tata usaha,
11. tempat beribadah,
12. ruang konseling,
13. ruang UKS,
14. ruang organisasi kesiswaan,
15. jamban,
16. gudang,
17. ruang sirkulasi,
18. tempat bermain/berolahraga

oleh : bsnp-indonesia.org/id/?p=372

Pengembangan Kompetensi Guru

STUDI KOMPARATIF PENGUASAAN KOMPETENSI GURU OLEH MAHASISWA BERDASARKAN LATAR BELAKANG SEKOLAH DAN JALUR MASUK PENERIMAAN MAHASISWA BARU

oleh:
Drs. Endang Supardi. M.Si.
Sambas Ali Muhidin, S.Pd., M.Si.
Rasto, S.Pd., M.Pd.




Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggungjawab dan layak. Sifat tanggungjawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Hal ini seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan seperti yang diungkapkan oleh Muhaimin (2003:151) dalam Abdul Madjid (2007:5-6), Moh. Uzer Usman (1999:14), dan Zamroni (2000:53).
Kompetensi guru ini merupakan suatu hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru, dan kompetensi guru tersebut tidak serta merta didapatkan begitu saja, tapi harus ada usaha yang keras untuk memperolehnya. Pada akhirnya kompetensi guru ini merupakan tolak ukur untuk menentukan kualitas guru tersebut.
Penjabaran kompetensi guru menurut Undang-undang khususnya Undang-undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2005 tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh guru disebutkan mencakup empat dimensi. Pertama, dimensi kompetensi pedagogik, dimensi ini merupakan kemampuan seorang guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik serta pengelolaan kelas. Kedua, dimensi kompetensi professional yaitu kemampuan penguasaan materi secara luas dan mendalam. Ketiga, dimensi kompetensi kepribadian (personal), dimensi ini merupakan kemampuan pribadi yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik. Keempat, dimensi komunikasi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi serta berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua atau wali, dan masyarakat sekitar.
Setiap personel dalam organisasi merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan keberhasilan suatu organisasi. Begitu pula dengan guru. Pendidikan akan menjadi berkualitas apabila guru tersebut memiliki kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dan perubahan. Untuk itu, setiap mahasiswa yang dipersiapkan menjadi guru harus menguasai kompetensi guru sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajarinya.
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai row input bagi terwujudnya guru berkualitas, diharapkan menguasai seluruh kompetensi guru yang kelak menjadi bekal dalam menjalankan tugas dan fungsinya di sekolah. Oleh karena itu ketika mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi, mahasiswa perlu diberikan pembekalan dan dipersiapkan kompetensinya sesuai dengan tuntutan dan perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan.
Penyiapan mahasiswa untuk menguasai kompetensi guru yang diharapkan, tidaklah mudah, mengingat mahasiswa sebagai individu memiliki karakteristik tertentu yang diantara satu dengan lainnya berbeda-beda, baik menyangkut potensi dan kemampuan, maupun kondisi lingkungan, keluarga, serta asal sekolah mahasiswa.
Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, kemampuan penguasaan kompetensi guru akan dilihat dari asal sekolah mahasiswa, dalam hal ini apakah mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan lebih menguasai kompetensi guru dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengah Umum/Atas. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat apakah mahasiswa yang diterima melalui jalur PMDK lebih menguasai kompetensi guru dibandingkan dengan mahasiswa yang diterima melalui jalur SPMB.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan kajian lebih mendalam terhadap sejauh mana penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa khususnya yang berasal dari Universitas Pendidikan Indonesia sebagai lembaga yang menghasilkan guru, agar mutu pendidikan di Indonesia lebih berkualitas.
Selanjutnya dari seluruh uraian kerangka pemikiran di atas, maka paradigma berpikir sebagai pengantar penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Pemikiran

A. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan adalah:
1. Ada perbedaan penguasaan kompetensi guru bidang keahliam manajemen perkantoran oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran yang berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan Bidang Keahlian Bisnis dan Manajemen dengan mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengah Umum.
2. Ada perbedaan penguasaan kompetensi guru bidang keahliam manajemen perkantoran oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran yang diterima lewat jalur PMDK dengan mahasiswa yang diterima lewat jalur SPMB.
3. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran yang berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan Bidang Keahlian Bisnis dan Manajemen lebih menguasai kompetensi guru dibandingkan mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengah Umum.
4. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran yang diterima melalui jalur PMDK lebih menguasai kompetensi guru dibandingkan mahasiswa yang diterima melalui jalur SPMB.
B. Konsep Kompetensi Guru
Kompetensi guru merupakan dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kompetensi guru dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan dasar bagi seorang guru dalam menguasai pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru, sehingga guru tersebut mampu mengembangkan kualitas dan aktivitas tenaga kependidikan. (Moh. Uzer Usman, 1999:14; Zamroni, 2000:53)
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Pedagogik
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.
Berdasarkan hal tersebut, maka kompetensi pedagogik dalam penelitian ini akan diukur melalui indikator (1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, (2) kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan (3) kemampuan melakukan penilaian.
2. Kompetensi Profesional
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar. Sementara Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi (1) pengembangan profesi, pemahaman wawasan, dan penguasaan bahan kajian akademik.
Berdasarkan pendapat di atas, kompetensi profesional guru dalam penelitian ini akan diukur melalui indikator (1) kemampuan penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan penelitian dan penyusunan karya ilmiah, (3) kemampuan pengembangan profesi, dan (4) pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan.
3. Kompetensi Pribadi
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri.
Johnson dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.
Berdasarkan pendapat di atas, kompetensi kepribadian guru dalam penelitian ini akan diukur melalui indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan.
4. Kompetensi Sosial
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas, kompetensi sosial guru dalam penelitian ini akan diukur melalui indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.
C. Metode Penelitian
Dalam melaksanakan suatu penelitian, penulis harus menentukan metode penelitian yang akan digunakan agar dapat mengarahkan dan dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan penelitian. Suharsimi Arikunto (2002:136) menerangkan bahwa “metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Explanatory Survey Method, dengan teknik pengumpulan data angket, yang dikumpulkan dari populasi studi yang berjumlah 82 orang mahasiswa tingkat akhir pada Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran. Universitas Pendidikan Indonesia. Uji statistika yang digunakan adalah statistika non parametrik, dengan teknik analisis data adalah uji Mann Whitney, dengan tujuan untuk mengkaji adakah perbedaan kompetensi yang dikuasai oleh mahasiswa dilihat dari dua karakteristik populasi
D. Hasil Penelitian
1. Penguasaan Kompetensi Guru Bidang Keahliam Manajemen oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran Universitas Pendidikan Indonesia
Secara keseluruhan, kondisi empirik kompetensi guru yang dikuasai oleh Mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI, berada pada tingkat kategori sedang. Hal ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh rata-rata jawaban responden terhadap angket kompetensi guru, terpusat pada alternatif jawaban 3 (kemampuan cukup/sedang).
Ada empat dimensi yang dijadikan ukuran dalam variabel kompetensi guru, yaitu kemampuan pedagogik, kemampuan profesional, kemampuan personal, dan kemampuan sosial. Secara empirik hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata untuk masing-masing dimensi bervariasi, seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 1
Nilai Rata-rata Skor Dimensi Kompetensi Guru
No Dimensi Nilai Rata-Rata Keterangan
1 Kompetensi Pedagogik 3,32 Sedang
2 Kompetensi Profesional 3,46 Tinggi
3 Kompetensi Personal 3,30 Sedang
4 Kompetensi Sosial 3,27 Sedang
Sumber: Skor jawaban responden
Berdasarkan tabel di atas diperoleh gambaran bahwa skor rata-rata untuk masing-masing dimensi belum mencapai skor maksimal ideal (5.00). Walaupun demikian hasil ini menunjukkan secara empirik variabel kompetensi guru dapat dijelaskan oleh dimensi-dimensi di atas. Artinya kualitas dimensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial dapat dijadikan acuan untuk mengukur kualitas kompetensi guru.
Tabel di atas juga menunjukkan dimensi kompetensi profesional memiliki skor rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 3.46. Secara berurutan diikuti oleh dimensi kompetensi pedagogik dengan skor rata-rata sebesar 3.32, dimensi kompetensi personal dengan skor rata-rata sebesar 3.30, dan dimensi kompetensi sosial dengan skor rata-rata sebesar 3.27. Hasil ini menunjukkan kompetensi guru pada dimensi profesional lebih dominan daripada dimensi lain yang dijadikan ukuran dalam penelitian ini.
Meskipun hasil penelitian menunjukkan pengembangan kompetensi profesional berada pada kategori paling tinggi namun belum mencapai skor maksimal ideal (5.00) sehingga masih harus ditingkatkan lagi.
Sementara itu dilihat dari asal sekolah dan jalur masuk, penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran, tampak pada tabel berikut:

Tabel 2
Rata-rata Skor Dimensi Kompetensi Guru Berdasarkan Asal Sekolah
No Dimensi Asal Sekolah
SMA Keterangan SMK Keterangan
1 Kompetensi Pedagogik 3,34 Sedang 3,27 Sedang
2 Kompetensi Profesional 3,49 Tinggi 3,39 Sedang
3 Kompetensi Personal 3,38 Sedang 3,40 Tinggi
4 Kompetensi Sosial 3,28 Sedang 3,39 Sedang
Rata-rata 3,37 Sedang 3,36 Sedang
Sumber: Skor jawaban responden
Tabel 3
Rata-rata Skor Dimensi Kompetensi Guru Berdasarkan Jalur Masuk Kuliah
No Dimensi Jalur Masuk Kuliah
PMDK Keterangan SPMB Keterangan
1 Kompetensi Pedagogik 3,38 Sedang 3,35 Sedang
2 Kompetensi Profesional 3,50 Tinggi 3,41 Tinggi
3 Kompetensi Personal 3,45 Tinggi 3,43 Tinggi
4 Kompetensi Sosial 3,41 Tinggi 3,40 Tinggi
Rata-rata 3,44 Tinggi 3,40 Tinggi
Sumber: Skor jawaban responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa skor rata-rata penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang berasal dari SMA lebih besar 1 point, yaitu 3,37, dari skor kompetensi skor rata-rata penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang berasal dari SMK sebesar 3,36. Walaupun demikian perbedaan angka tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang berasal dari SMA dan SMK. Hal ini ditunjukan oleh kategori tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang berasal dari SMA dan SMK, kedua-duanya, berada pada kategori sedang.
Sementara Tabel 2 menunjukkan bahwa skor rata-rata penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang masuk melalui jalur PMDK lebih besar 4 point, yaitu 3,40, dari skor rata-rata penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang masuk melalui jalur SPMB sebesar 3,40. Walaupun demikian perbedaan angka tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang masuk melalui jalur PMDK dan SPMB. Hal ini ditunjukan oleh kategori tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa yang masuk melalui jalur PMDK dan SPMB. kedua-duanya, berada pada kategori tinggi.
2. Perbedaan Penguasaan Kompetensi Guru Bidang Keahliam Manajemen oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran Universitas Pendidikan Indonesia, Berdasarkan Asal Sekolah dan Jalur Penerimaan Mahasiswa Baru
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Adakah perbedaan penguasaan kompetensi guru bidang keahliam manajemen oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran Universitas Pendidikan Indonesia, berdasarkan asal sekolah. (2) Adakah perbedaan penguasaan kompetensi guru bidang keahliam manajemen oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran Universitas Pendidikan Indonesia, berdasarkan jalur penerimaan mahasiswa baru. (3) Apakah mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran Universitas Pendidikan Indonesia yang berasal dari SMK lebih tinggi penguasaan kompetensi gurunya dibandingkan yang berasal SMU. (4) Apakah mahasiswa Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran Universitas Pendidikan Indonesia yang masuk melalui jalur PMDK lebih tinggi penguasaan kompetensi gurunya dibandingkan yang masuk melalui jalur SPMB
Secara empiris, hasil penelitian ini menginformasikan: (1) Tidak ada perbedaan penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang berasal dari SMA dengan penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang berasal dari SMK. (2) Tidak ada perbedaan antara penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang masuk melalui jalur PMDK dengan penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang masuk melalui jalur SPMB. (3) Penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang berasal dari SMK tidak lebih besar dari penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang berasal dari SMA. (4) Penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang masuk melalui jalur PMDK tidak lebih besar dari penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang masuk melalui jalur SPMB.
Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukan bahwa baik dilihat dari asal sekolah mahasiswa dan jalur masuk kuliah, tidak diperoleh keterangan objektif yang menyebutkan adanya perbedaan tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran, Universitas Pendidikan Indonesia.
Temuan penelitian ini juga mengindikasikan bahwa tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang berasal dari SMK tidak lebih besar dari penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang berasal dari SMA, serta tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang masuk melalui jalur PMDK tidak lebih besar dari tingkat penguasaan kompetensi guru oleh mahasiswa Prodi Manajemen Perkantoran UPI yang masuk melalui jalur SPMB, demikian juga sebaliknya.

E. Daftar Pustaka
Ating Somantri dan Sambas Ali M. (2006). Aplikasi Statistika dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Depdiknas (2004). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Grafindo.
Gadner (1983). Pendidikan Guru. Jakarta: Damai Jaya
Gumelar dan Dahyat (2002). Supervisi Pendidikan Indonesian. Jakarta: Gramedia.
Hamalik, Oemar. (2002) Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bandung: Bumi Aksara.
Harahap, Baharuddin. (1983). Supervisi Pendidikan yang Dilaksanakan Oleh Guru, Kepala Sekolah, Pemilik dan Pengawasan Sekolah. Jakarta: Damai Jaya.
Majid, Abdul. (2007). Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi Guru). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Samana, A. (1994). Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius.
Spencer, Lyle M and Spencer, Signe M (1993). Competence At Work Models For Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sudjana, Nana. (2004). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005, tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, Bandung: Penerbit Fokus Media.
Usman, Uzer. (1999). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Zamroni. (2000) Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Bimbingan Konseling

KONSELOR DAN INTERNET

Berapa waktu yang dimiliki konselor untuk memberikan bimbingan kepada para siswa? Berapa jumlah konselor di sebuah sekolah dibandingkan jumlah siswa yang harus dilayani? Jawaban atas 2 pertanyaan tadi pada umumnya kurang memuaskan. Tidak banyak waktu yang dimiliki seorang konselor, kalaupun ada, untuk bertatap muka dan memberikan layanan bimbingan kepada para siswanya. Jika konselor tidak mempunyai waktu terjadwal, seperti pada guru maatpelajaran, untuk masuk kelas, bagaimana mungkin program BK di sekolah bisa berjalan baik? Bagaimana mungkin BK bisa efektif jika konselor hanya mempunyai kesempatan masuk kelas menunggu pada saat kelas kosong karena guru yang bersangkutan tidak hadir? Masalahnya memang, karena BK bukan mata pelajaran dan tidak memberikan penilaian kepada siswa, sulit bagi sekolah untuk memberikan jadwal regular bagi konselor di tengah padatnya muatan kurikulum. Lebih baik memberikan tambahan waktu untuk mata pelajaran tertentu daripada digunakan untuk BK. Kurang lebih begitu jalan pikiran para pengelola sekolah. Lalu bagaimana bimbingan sebagai sebuah proses berkesinambungan akan mendapat tempat?

Keterbatasan jumlah konselor adalah masalah lain. Kalau toh konselor mendapat jatah rutin masuk kelas, bagaimana mengatur jadwal 1-2, atau 3 orang konselor melayani belasan kelas yang ada? Pasti super sibuk, dari satu kelas ke kelas lain.

Terkendala waktu dan personil, bagaimana program BK bisa berjalan secara efektif dan efisien? Jawabnya adalah manfaatkan teknologi informasi, khususnya internet. Peran teknologi tinggi dalam dunia pendidikan khususnya Bimbingan dan Konseling sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dan maksimal.

Dengan makin luasnya keterjangkauan wilayah oleh jaringan internet, kini sudah saatnya bagi setiap konselor untuk melek internet. Kedepan diharapkan peran BK di sekolah lebih riil dan bermanfaat bagi siswa dengan memanfaatkan internet. Dengan internet, konselor bisa memberikan informasi dan bimbingan kepada siswa tanpa kendala waktu dan tempat.

Dalam hal ini komunikasi dan interaksi konselor dengan siswa dapat dilakukan dengan cara:

1. Menggunakan Email sebagai Kotak Sampah untuk menampung semua permasalahan, unek-unek, ganjalan yang dirasakan siswa. Konselor dapat memanfaatkan masukan yang diberikan siswa sebagai bahan evaluasi dan penyusunan materi bimbingan.
2. Membuat Blog Bimbingan Konseling. Kenapa tidak? Blog sekarang sangat merakyat, mudah dibuat, dan gratis. Sudah saatnya BK di sekolah memanfaatkan blog sebagai media informasi dan bimbingan.

Apakah memanfaatkan internet sebagai media bimbingan akan mencapai sasaran yang diharapkan? Apakah siswa siap menerima dan meresponnya? Mengapa tidak, mengapa harus ragu? Sebab saat ini tingkat melek internet di kalangan para siswa barangkali lebih tinggi dari kalangan pendidik. Anda hanya perlu mencoba dan membuktikannya. Yang menjadi masalah justru kesiapan konselor sendiri. Apakah seorang konselor sudah siap dengan teknologi internet? Kalau tidak siap, jangan kaget bahwa konselor makin ditinggalkan siswa.

Ibarat kata, lebih tahu dan tahu lebih siswa daripada konselornya tentang hal yang disampaikan.

Bagaimana menurut anda?


(tulisan ini diilhami artikel Tutang, SE, MM “PERANAN TI DALAM BIMBINGAN KONSELING (BK)” di internet)

Supervisi Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.

Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.

1. Pengertian Supervisi

Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an envirovment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.

Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( semantik).

1) Etimologi

Istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.

2) Morfologis

Supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.

3) Semantik

Pada hakekatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan :

a. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar

b. Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar

Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982).

Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.

Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.[1]



1. Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Guru dengan Supervisi

Ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air. Sumber air itu harus terus menerus bertambah, agar sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus. Bila tidak, maka sumber air itu akan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik.

Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.

Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut :

1. Latar Belakang Kultural

Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus daingkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

2. Latar Belakang Filosofis

Suatu system pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu bangsa.

3. Latar Belakang Psikologis

Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.

4. Latar Belakang Sosial

Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.

5. Latar Belakang Sosiologis

Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.

6. Latar Belakang Pertumbuhan Jabatan

Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan harkat dan martabat manusia.



Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan.

1. Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.

2. Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.

Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:

1. Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.

Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.

2. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja.

Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:

a. Bidang Akademik, mencakup kegiatan:

1) menyusun program tahunan dan semester,

2) mengatur jadwal pelajaran,

3) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,

4) menentukan norma kenaikan kelas,

5) menentukan norma penilaian,

6) mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,

7) meningkatkan perbaikan mengajar,

8) mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan

9) mengatur disiplin dan tata tertib kelas.

b. Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:

1) mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru,

2) mengelola layanan bimbingan dan konseling,

3) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan

4) mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.

c. Bidang Personalia, mencakup kegiatan:

1) mengatur pembagian tugas guru,

2) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,

3) mengatur program kesejahteraan guru,

4) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan

5) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.

d. Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:

1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,

2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,

3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan

4) mempertanggungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

e. Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:

1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,

2) layanan perpustakaan dan laboratorium,

3) penggunaan alat peraga,

4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,

5) keindahan dan kebersihan kelas, dan

6) perbaikan kelengkapan kelas.

f. Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:

1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,

2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,

3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan

4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).

Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya :

a. Penggunaan program semester

b. Penggunaan rencana pembelajaran

c. Penyusunan rencana harian

d. Program dan pelaksanaan evaluasi

e. Kumpulan soal

f. Buku pekerjaan siswa

g. Buku daftar nilai

h. Buku analisis hasil evaluasi

i. Buku program perbaikan dan pengayaan

j. Buku program Bimbingan dan Konseling

k. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler



1. Profesionalisme Guru

Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi.



Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.

Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.

Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:

1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.

2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.

4) Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.

5) Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).

Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:

1) Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.

2) Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.

3) Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.

4) Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.

5) Menguasai landasan-landasan pendidikan.

6) Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.

7) Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.

8) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.

9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.

10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).



1. Konsep Mutu Pendidikan

Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child’s Scholl, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:

1) keefektifan kepemimpinan kepala sekolah

2) partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,

3) proses belajar-mengajar yang efektif,

4) pengembangan staf yang terpogram,

5) kurikulum yang relevan,

6) memiliki visi dan misi yang jelas,

7) iklim sekolah yang kondusif,

8) penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,

9) komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan

10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.

Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12).

Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.


Selama tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.



Supriadi (2002:17) mengatakan: “orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.










I. KESIMPULAN

Kebijakan pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah, masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.

Implementasi kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.

Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.

Implementasi kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran yang dimiliki, baik sebagai informatory(pemberi informasi), organisator, motivator, director, inisiator (pemrakarsa inisiatif), transmitter (penerus), fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya.







DAFTAR PUSTAKA


Balitbang Depdiknas. 2001. Data Standardisasi Kompetensi Guru.

(http://www.depdiknas.go.id.html).



Berliner, David. 2000. Educational Reform in an Era of Disinformation.

(http://www.olam.asu.edu/epaa/v1n2.html).




Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi Sekolah Dasar.Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.

Fullan & Stiegerbauer.1991. The New Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sapari, Achmad. 2002. Pemahaman Guru Terhadap Inovasi Pendidikan. Artikel. Jakarta: Kompas (16 Agustus 2002).

Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sucipto. 2003. Profesionalisasi Guru Secara Internal, Akuntabiliras Profesi. Makalah Seminar Nasional. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama Universitas Terbuka.

Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Supriadi, Dedi. 2002. Laporan Akhir Tahun Bidang Pendidikan & Kebudayaan. Artikel. Jakarta : Kompas.

Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan, Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.

Surya, Mohamad. 2002. Peran Organisasi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Seminar Lokakarya Internasional. Semarang : IKIP PGRI.

Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Wardani, IGK. 1996. Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen Dikti.

Townsend, Diana & Butterworth. 1992. Your Child’s Scholl. New York: A Plime Book.

UU Guru dan Dosen

UU GURU DAN DOSEN : UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN.
Oleh : 1) A. Hakam Naja

Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia mendapat roh baru dalam pelaksanaanya sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka Visi pembangunan pendidikan nasional adalah “ Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif dan Berakhlak Mulia “. Beberapa indikator yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam pembangunan pendidikan nasional :
a. Sistem pendidikan yang efektif, efisien.
b. Pendidikan Nasional yang merata dan bermutu.
c. Peran serta masyarakat dalam pendidikan.
d. Dll
Permasalahan klasik di dunia pendidikan dan sampai saat ini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya adalah
a. Kurangnya Pemerataan kesempatan pendidikan.
Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas di tingkat sekolah dasar.
b. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataanya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja. Namun adanya perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.
c. Rendahnya mutu pendidikan.
Untuk indikator rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari tingkat prestasi siswa. Semisal kemampuan membaca, pelajaran IPA dan Matematika. Studi The Third International Mathematic and Science Study Repeat TIMSS-R pada tahun 1999 menyebutkan bahwa diantara 38 negara prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika.

GURU DAN KUALITAS PENDIDIKAN.
“Guru Kencing berdiri, murid kecing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan. Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dll. Secara umum guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dll. Khusus guru, di Indonesia untuk tahun 2005 saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218.838 (menurut data direktorat tenaga kependidikan).
KEKURANGAN GURU TAHUN 2004-2005
TINGKAT 2004 2005 KEBUTUHAN
KEBUTUHAN PENSIUN KEBUTUHAN PENSIUN
TK 893 187 1,080 260 1,340
SD 63,144 20,399 83,543 23,918 107,461
SMP 57,537 4,707 62,244 6,270 68,514
SMU 26,120 1,498 27,618 1,685 29,303
SMK 9,972 1,073 11,045 1,175 12,220
TOTAL 157,666 27,864 185,530 33,308 218,838
Sumber : Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004
Dengan jumlah kekurangan guru yang cukup besar maka kita juga tidak dapat berharap akan terciptanya kualitas pendidikan. Disamping itu masalah distribusi guru juga tidak merata, baik dari sisi daerah maupun dari sisi sekolah. Dalam banyak kasus, ada SD yang hanya memiliki tiga hingga empat orang guru sehingga mereka harus mengajar secara paralel dan simultan.
Belum lagi hal yang berkaitan dengan prasyarat akademis, baik itu menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Semisal, masih cukup banyak guru SMA/SMK yang belum berkualifikasi pendidikan sarjana atau strata satu. Seperti yang bersyaratkan dalam UU Guru dan Dasar.

GURU MENURUT IJAZAH TERTINGGI TAHUN 2002/2003
No Pendidikan Jumlah
Guru Ijazah Tertinggi i(dalam %)
1 TK 137.069 90.57 5.55 - 3.88 -
2 SLB 8.304 47.58 - 5.62 46.35 0.45
3 SD 1.234.927 49.33 40.14 2.17 8.30 0.05
4 SMP 466.748 11.23 21.33 25.10 42.03 0.31
5 SMA 230.114 1.10 1.89 23.92 72.75 0.33
6 SMK 147.559 3.54 1.79 30.18 64.16 0.33
7 PT 236.286 - - - 56.54 43.46
Sumber : Balitbang 2004
Dari distribusi data diatas dapat diketahui bahwa angka guru yang belum memenuhi kualifikasi akademisnya cukup besar.
• Untuk tingkat SMA, yang memenuhi kualifikasi S1 sebesar 72,75% sedang sisanya yang mencapai angka 27% belum mencapai kualifikasi.
• Demikian pula untuk strata satu (S1) hampir sebagian besar dosennya hanya mempunyai kualifikasi sarjana, dimana kualifikasi tersebut seharusnya adalah master atau doktor.
Disamping kualifikasi akademis yang mendasar, guru juga sangat jarang diikutkan untuk pelatihan-pelatihan untuk dapat meningkatkan kemampuannya. Padahal seorang guru, secara garis besar harus mempunyai kemampuan untuk :
1. penguasaan materi/bahan pelajaran.
2. perencanaan program proses belajar-mengajar.
3. kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar.
4. kemampuan penggunaan media dan sumber pelajaran.
5. kemampuan evaluasi dan penilaian.
6. kemampuan program penyuluhan dan bimbingan.
7. Dll.
UU GURU DAN DOSEN
Sejak awal pembahasan UU Guru dan Dosen, pertanyaan yang banyak muncul di masyarakat luas adalah : “ Untuk siapa UU Guru dan Dosen tersebut ? “ hal ini mengemuka karena ada kekhawatiran UU tersebut tidak dapat memayungi seluruh guru. Dengan kata lain ditakutkan adanya proses diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta.
Khusus posisi guru swasta selama ini memang seolah-olah tidak dipayungi oleh UU yang ada meskipun secara eksplisit sudah tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari sudut UU kepegawaian jelas tidak menkhususkan untuk guru, karena yang diatur adalah pegawai pemerintah (PNS) sedangkan dari sudut UU Ketenagakerjaan juga akan sangat sulit karena penyelenggara pendidikan adalah yayasan. Sehingga guru tidak dapat dikatagorikan sebagai tenaga kerja atau buruh. Bisa dikatakan sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, guru-guru tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Yang memang mengatur segala sesuatu secara khusus yang menyangkut guru, seperti halnya dengan UU Tenaga Kerja dan UU Kepegawaian.
Sekilas UU Guru dan Dosen : UU Guru dan Dosen mendapatkan sambutan yang hangat, terutama dari kalangan pendidik. UU ini dianggap bisa menjadi payung hukum unuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda antara guru negeri dan swasta. Meskipun di beberapa bagian masih sangat hangat diperbincangkan dan menjadi perdebatan yang sangat seru. UU Guru dan Dosen secara gamblang dan jelas mengatur secara detail aspek-aspek yang selama ini belum diatur secara rinci. Semisal, kedudukan, fungsi dan tujuan dari guru, hak dan kewajiban guru, kompetensi dll. Yang perlu digaris bawahi dan mendapat sambutan positif dari masyarakat terhadap UU Guru dan Dosen adalah hal-hal yang menyangkut :
a. Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.
b. Hak dan kewajiban.
c. Pembinaan dan pengembangan.
d. Penghargaan,
e. Perlindungan
f. Organisasi profesi dan kode etik.
Enam indikator diatas belum diatur secara rinci, sehingga sangat sulit untuk mengharapkan profesionalitas guru-guru di Indonesia.
Ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah :


a. Standardisasi.
- Standardisasi penyelenggaraan pendidikan.
Sampai saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak jelas keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan yayasan-yayasan tersebut terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga banyak lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik dll. Penyelenggara pendidikan seperti diatas jumlahnya cukup besar di indonesia. Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu negeri maupun swasta.
- Standardisasi kompetensi guru.
Hal ini akan tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik.
Pasal 8 menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Banyak pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa.
Sedang semangat dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Dengan sertifikasi diharapkan lebih menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
b. Kesejahteraan atau Tunjangan.
11 item Hak Guru yang tercantum pada pasal 14 UU Guru dan Dosen adalah bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat kepada guru. Untuk indikator penghasilan guru PNS sudah diatur Pasal 15 ayat 1. Guru berhak untuk mendapatkan tunjangan, yaitu :
1. Tunjangan profesi.
2. Tunjangan Fungsional.
3. Tunjangan Khusus.
Tiga jenis tunjangan diatas diatur dalam pasal 16,17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan profesi diberikan kepada guru baik guru PNS ataupun guru swasta yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Disamping tunjangan diatas, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang tercantum dalam pasal 19 UU Guru dan Dosen. Maslahat Tambahan tersebut meliputi :
1. Tunjangan pendidikan.
2. Asuransi pendidikan.
3. Beasiswa.
4. Penghargaan bagi guru.
5. Kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan.
6. Pelayangan kesehatan.
7. Bentuk kesejahteraan lain.
c. Organisasi profesi dan dewan kehormatan.
Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen ini diharapkan bida didirikan organisasi profesi yang dapat mewadahi (terutama) guru yang dapat menjalankan fungsinya sebagai orgnisasi profesi yang independen dan diharapkan dapat menjadi lembaga yang benar-benar memperjuangkan nasib guru. Demikian pula dengan dewan kehormatan yang tercipta dari organisasi profesi yang independent diharapkan menjadi penngawal pelaksanaan kode etik guru.
d. Perlindungan.
Setiap guru berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Perlindungan untuk guru meliputi :
1. Perlindungan hukum.
Perlindungan hukum mencakup perlindugan atas tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil.
2. Perlindungan profesi.
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pelecehan terhadap profesi serta pembatasan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Perlindungan ini mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja atau resiko lain.
UU Guru dan Dosen mungkin masih harus di perdebatkan dalam rangka memperbaikinya di masa yang akan datang. Apalagi ada beberapa hal memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat terganturng anggaran pemerintah. Sehingga pada saat anggaran pendidikan belum mencapai 20% dari APBN maka akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian pula dengan program sertifikasi dll, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Namun diharapkan dengan adanya 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen diharapkan akan memperbaiki mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.

Peran Guru dan Pembelajaran

Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
29 Maret 2009 di Universitas Muhammadiyah Purworejo

I. Pendahuluan

Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 11 ayat 1 mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (berkualitas) bagi setiap warga negara. Terwujudnya pendidikan yang bermutu membutuhkan upaya yang terus menerus untuk selalu meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya peningkatan kualitas pendidikan memerlukan upaya peningkatan kualitas pembelajaran (instructional quality) karena muara dari berbagai program pendidikan adalah pada terlaksananya program pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu, usaha meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan kualitas pembelajaran.
Peningkatan kualitas pembelajaran memerlukan upaya peningkatan kualitas program pembelajaran secara keseluruhan karena hakikat kualitas pembelajaran adalah merupakan kualitas implementasi dari program pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya. Upaya peningkatan kualitas program pembelajaran memerlukan informasi hasil evaluasi terhadap kualitas program pembelajaran sebelumnya. Dengan demikian, untuk dapat melakukan pembaharuan program pendidikan, termasuk di dalamnya adalah program pembelajaran kegiatan evaluasi terhadap program yang sedang maupun telah berjalan sebelumnya perlu dilakukan dengan baik. Untuk dapat menyusun program yang lebih baik, hasil evaluasi program sebelumnya merupakan acuan yang tidak dapat ditinggalkan.

II. Konsep Dasar Evaluasi

Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam evaluasi, yaitu tes, pengukuran, dan penilaian. (test, measurement,and assessment). Tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respons seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan (Djemari Mardapi, 2008: 67). Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Objek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun motivasi. Respons peserta tes terhadap sejumlah pertanyaan menggambarkan kemampuan dalam bidang tertentu. Tes merupakan bagian tersempit dari evaluasi.
Pengukuran (measurement) dapat didefinisikan sebagai the process by which information about the attributes or characteristics of thing are determinied and differentiated (Oriondo,1998: 2). Guilford mendefinisi pengukuran dengan “assigning numbers to, or quantifying, things according to a set of rules” (Griffin & Nix, 1991: 3). Pengukuran dinyatakan sebagai proses penetapan angka terhadap individu atau karakteristiknya menurut aturan tertentu (Ebel & Frisbie. 1986: 14). Allen & Yen mendefinisikan pengukuran sebagai penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu (Djemari Mardapi, 2000: 1). Dengan demikian, esensi dari pengukuran adalah kuantifikasi atau penetapan angka tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu. Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Pengukuran memiliki konsep yang lebih luas dari pada tes. Kita dapat mengukur karakateristik suatu objek tanpa menggunakan tes, misalnya dengan pengamatan, skala rating atau cara lain untuk memperoleh informasi dalam bentuk kuantitatif.
Penilaian (assessment) memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi. Popham (1995: 3) mendefinisikan asesmen dalam konteks pendidikan sebagai sebuah usaha secara formal untuk menentukan status siswa berkenaan dengan berbagai kepentingan pendidikan. Boyer & Ewel mendefinisikan asesmen sebagai proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang kurikulum atau program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi. “processes that provide information about individual students, about curricula or programs, about institutions, or about entire systems of institutions” (Stark & Thomas,1994: 46). Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa assessment atau penilaian dapat diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.
Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan penilaian, pengukuran maupun tes. Stufflebeam dan Shinkfield (1985: 159) menyatakan bahwa : Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing descriptive and judgmental information about the worth and merit of some object’s goals, design, implementation, and impact in order to guide decision making, serve needs for accountability, and promote understanding of the involved phenomena.
Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggung jawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Komite Studi Nasional tentang Evaluasi (National Study Committee on Evaluation) dari UCLA (Stark & Thomas, 1994: 12), menyatakan bahwa : Evaluation is the process of ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives.
Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang sesuai untuk mengetahui sejauh mana suatu tujuan program, prosedur, produk atau strategi yang dijalankan telah tercapai, sehingga bermanfaat bagi pengambilan keputusan serta dapat menentukan beberapa alternatif keputusan untuk program selanjutnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, mengintepretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan dan atau menyusun kebijakan. Adapun tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.

III. Program Pembelajaran

Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin (2008: 3 - 4) ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara umum, “program” dapat diartikan sebagai “rencana”. Jika seorang siswa ditanya oleh guru, apa programnya setelah lulus dalam menyelesaikan pendidikan di sekolah yang diikuti, maka arti “program” dalam kalimat tersebut adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan setelah lulus. Rencana ini mungkin berupa keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, membantu orang tua dalam membina usaha, atau mungkin juga belum menenukan program apapun. Apabila program ini langsung dikaitkan dengan evaluasi progam, maka program didefinisikan sebagai satu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam program yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Dalam buku yang lain Suharsimi (2008: 291) mendefinisikan program sebagai suatu kegiatan yang direncanakan dengan seksama. Sedangkan Farida Yusuf Tayibnabis (2000: 9) mengartikan program sebagai segala sesuatu yang dicoba lakukan seseorang dengan harapan akan mendatangkan hasil atau pengaruh. Dengan demikian dapat program diartikan sebagai serangkain kegiatan yang direncanakan dengan seksama dan dalam pelaksanaannya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang. Dalam pengertian tersebut ada empat unsur pokok untuk dapat dikategorikan sebagai program, yaitu:

1. Kegiatan yang direncanakan atau dirancang dengan seksama. Bukan asal rancangan, tetapi rancangan kegiatan yang disusun dengan pemikiran yang cerdas dan cermat,
2. Kegiatan tersebut berlangsung secara berkelanjutan dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain. Dengan kata lain ada keterkaitan antar kegiatan sebelum dengan kegiatan sesudahnya,
3. Kegiatan tersebut berlangsung dalam sebuah organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non formal bukan kegiatan individual,
4. Kegiatan tersebut dalam implementasi atau pelaksanaanya melibatkan banyak orang, bukan kegiatan yang dilakukan oleh perorangan tanpa ada kaitannya dengan kegiatan orang lain.

Pembelajaran merupakan salah satu bentuk program, karena pembelajaran yang baik memerlukan perencanaan yang matang dan dalam pelaksanaanya melibatkan berbagai orang, baik guru maupun siswa, memiliki keterkaitan antara kegiatan pembelajaran yang satu dengan kegiatan pembelajaran yang lain, yaitu untuk mencapai kompetensi bidang studi yang pada akhirnya untuk mendukung pencapaian kompetensi lulusan, serta berlangsung dalam organisasi. Agar pembelajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien, maka perlu kiranya dibuat suatu program pembelajaran. Program pembelajaran yang biasa disebut juga dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) merupakan panduan bagi guru atau pengajar dalam melaksanakan pembelajaran. Program pembelajaran yang dibuat oleh guru tidak selamanya bisa efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik, oleh karena itulah agar program pembelajaran yang telah dibuat yang memiliki kelemahan tidak terjadi lagi pada program pembelajaran berikutnya, maka perlu diadakan evaluasi program pembelajaran.

IV. Kegunaan Evaluasi Program Pembelajaran

Sekurang-kurangnya ada empat kegunaan utama evaluasi program pembelajaran, yaitu:

1. Mengkomunikasikan program kepada publik
Tidak jarang publik termasuk orang tua siswa mendapat laporan bersifat garis besar dari media massa tentang efektivitas program sekolah termasuk program pembelajaran. Laporan demikian biasanya hanya menyajikan angka-angka statistik tanpa disertai penjelasan secara detail tentang makna dan hal-hal yang tekait. Ada pula sebagian orang tua menerima laporan tentang program pembelajaran dari siswanya. Informasi demikian bagaimanapun kurang lengkap. Padahal laporan atau informasi demikian dapat saja membentuk opini sistem pembelajaran atau bahkan kinerja guru. Oleh karena itu mengkomunikasikan hasil evaluasi program pembelajaran yang lengkap akan memiliki keuntungan dan kebaikan bagi guru dan sekolah. Bagaimanapun orang tua maupun masyarakat luas lainnya memiliki kepentingan terhadap pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu sekolah memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan efektivitas program pembelajarannya kepada orang tua maupun publik lainnya melalui hasil-hasil evaluasi yag dilaksanakan, dengan demikian publik dapat menilai tentang efektivitas program pembelajaran dan memberikan dukungan yang diperlukan.

2. Menyediakan informasi bagi pembuat keputusan
Informasi yang dihasilkan dari evaluasi program pembelajaran akan berguna bagi setiap tahapan dari manajemen sekolah mulai sejak perencanaan, pelaksanaan ataupun ketika akan mengulangi dan melanjutkan program pembelajaran. Hasil evaluasi dapat dijadikan dasar bagi pembuatan keputusan, sehigga keputusan tersebut lebih valid dibandingkan keputusan yang hanya berdasarkan intuisi saja. Pembuat keputusan biasanya memerlukan informasi yang akurat agar dapat memutuskan sesuatu secara tepat. Informasi yang akurat tersebut antara lain dapat diperoleh dari kegiatan evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis. Penyediaan informasi hasil evaluasi bagi pembuatan keputusan tersebut tidak terbatas pada keputusan oleh kepala sekolah tetapi juga oleh guru. Misalnya guru membuat keputusan tingkat kelas, sedangkan kepala sekolah membuat keputusan untuk tingkat sekolah. Masing-masing pembuat keputusan memerlukan informasi dari hasil evaluasi,karenanya hal ini harus diperhatikan ketika rencana evaluasi dikembangkan.

3. Penyempurnaan program yang ada
Evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan dengan baik dapat membantu upaya-upaya dalam rangka menyepurnakan jalannya program pembelajaran sehingga lebih efektif. Dengan instrumen yang ada, hasil yang dicapai dapat diukur dan didiagnosis. Berbagai kelemahan dan kendala yang mungkin timbul dapat ditemukan dan dikenali, kemudian dianalisis serta ditentukan alternatif pemecahannya yang paling tepat. Komponen-komponen dalam sistem pembelajaran yang memiliki kekurangan dan kelemahan dapat dipelajari dan dicari solusinya. Berdasarkan hasil evaluasi akan dapat diperoleh informasi tentang dampak dari berbagai aspek program terhadap siswa, dan berhasil juga teridentifikasi berbagai faktor yang perlu diperhatikan atau perlu penyempurnaan, misalnya kinerja guru, fasilitas pembelajaran, strategi pembelajaran yang digunakan, dan sebagainya. Singkatnya evaluasi program pembelajaran data berfungsi sebagai koreksi terhadap kesalahan maupun kekurangan program pembelajaran.

4. Meningkatkan partisipasi
Dengan adanya informasi hasil evaluasi program pembelajaran, maka orang tua atau masyarakat akan terpanggil untuk berpartisipasidan ikut mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Hasil evaluasi progam pembelajaran yang dimasyarakatkan akan menggugah kepedulian masyarakat terhadap program pembelajaran, menarik perhatiannya, dan akhirnya akan menumbuhkan rasa ikut memiliki (self of belonging). Apabila hal ini terbina dengan baik, maka akan tercipta suatu control yang ikut memacu dan mengawasi kualitas pembelajaran. Selain itu, evaluasi juga merupakan upaya meningkatkan motivasi guru untuk meningkatkan kinerjanya. Informasi hasil evaluasi akan memberikan konfirmasi tentang komponen-komponen program pembelajaran yang masih lemah dan perlu ditingkatkan. Bagi siswa informasi hasil evaluasi yang berupa kemajuan hasil belajar siswa juga mempunyai manfaat untuk meningkatkan motivasi belajar.

V. Objek Evaluasi Pembelajaran

Berdasarkan asumsi bahwa pembelajaran merupakan sistem yang terdiri atas beberapa unsur, yaitu masukan, proses dan keluaran/hasil; maka objek atau sasaran evaluasi program pembelajaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: evaluasi masukan, proses dan keluaran/hasil pembelajaran.

1. Evaluasi masukan pembelajaran menekankan pada penilaian karakteristik peserta didik, kelengkapan dan keadaan sarana dan prasarana pembelajaran, karakteristik dan kesiapan guru, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran, serta keadaan lingkungan di mana pembelajaran berlangsung.
2. Evaluasi proses pembelajaran menekankan pada penilaian pengelolaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru meliputi kinerja guru dalam kelas, keefektifan media pembelajaran, iklim kelas, sikap dan motivasi belajar siswa.
3. Penilaian hasil pembelajaran merupakan upaya untuk melakukan pengukuran terhadap hasil belajar siswa, baik menggunakan tes maupun non tes, dalam hal ini adalah penguasaan kompetensi oleh setiap siswa sesuai dengan karakteristik masing – masing mata pelajaran .

Terkait dengan ketiga objek atau sasaran evaluasi program pembelajaran tersebut, menurut Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Sebelas Maret (2007: 5) dalam praktek pembelajaran secara umum, pelaksanaan evaluasi program pembelajaran menekankan pada evaluasi proses pembelajaran atau evaluasi manajerial, dan evaluasi hasil belajar atau evaluasi substansial. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran kedua jenis evaluasi tersebut merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat penting. Evaluasi kedua jenis komponen yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan dan hasil pembelajaran. Selanjutnya masukan tersebut pada gilirannya dipergunakan sebagai bahan dan dasar memperbaiki kualitas proses pembelajaran menuju ke perbaikan kualitas hasil pembelajaran. Dengan kata lain untuk memperbaiki kualitas hasil belajar siswa harus didahului dengan perbaikan terhadap kualitas proses pembelajaran.

Berdasarkan beberapa asumsi dan pendapat di atas, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa objek evaluasi program pembelajaran yang pokok harus mencakup dua hal, yaitu:

1. Aspek manajerial, yaitu implementasi rancangan pembelajaran yang telah disusun oleh guru dalam bentuk proses pembelajaran, atau disebut juga dengan evaluasi kualitas proses pembelajaran.
2. Aspek substansial, yaitu hasil belajar siswa setelah mengikuti serangkaian proses pembelajaran yang dirancang oleh guru, atau disebut juga dengan penilaian hasil belajar siswa, baik menggunakan tes maupun non tes.

VI. Evaluator Program Pembelajaran

Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut Suharsimi Arikunto dan Cep Safrudin (2008: 23 – 25) mengklasifikasikan evaluator menjadi dua macam, yaitu evaluator dari dalam (internal evaluator) dan evaluator dari luar (external evaluator).

1. Evaluator dari dalam
Yang dimaksud dengan evaluator dari dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah saeorang dari anggota pelaksana program yang evaluasi. Berdasarkan batasan tersebut maka dalam evaluasi program pembelajaran guru menjadi evaluator dari dalam karena guru selain sebagai perencana sekaligus pelaksana program pembelajaran mempunyai kewajiban menilai, sikap dan perilaku maupun partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, juga mempunyai kewajiban menilaihasil belajar siswa. Adapun kelebihan dan kekurangan evaluator dari dalam antara lain:

Kelebihan Evaluator dari dalam

1. Evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga ke-khawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.
2. Karena evaluator adalah orang dalam, pengambil keputusan tidak banyak mengeluarkan waktu dan biaya yang cukup banyak

Kekurangan Evaluator dari dalam

1. Adanya unsur subjektivitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.
2. Karena sudah memahami seluk belum program, jika evaluator kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.

2. Evaluator dari luar
Yang dimaksud dengan evaluator dari luar adalah orang-orang yang tidak terkait dengan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program pembelajaran. Termasuk evaluator eksternal dalam evaluasi program pembelajaran di antaranya evaluasi yang dilakukan petugas yang ditunjuk oleh kepala sekolah maupun evaluasi yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh dinas pendidikan.

Kelebihan Evaluator dari luar

1. Karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program pembelajaran, evaluator dari luar dapat bertindak secara efektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apapun hasil evaluasi tidak akan ada respon emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan yang sebenarnya.
2. Seorang ahli yang ditunjuk biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya, dengan begitu ia akan bekerja secara serius dan hati – hati.

Kekurangana Evaluator dari luar

1. Evaluator dari luar biasanya belum mengenal lebih dalam tentang program pembelajaran yang akan dievaluasi. Hal itu wajar karena evaluator tidak ikut dalam proses kegiatannya. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk belukprogram tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Dampak dari kekurang pengetahuan tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2. Pemborosan waktu dan biaya, pengambil keputusan harus mengeluarkan waktu dan biaya untuk membayar evaluator tersebut.

Melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing evaluator, serta untuk lebih mengoptimalkan peran guru dalam evaluasi program pembelajaran, maka sebaiknya evaluator dalam evaluasi program pembelajaran merupakan kombinasi antara evaluator dari dalam dan evaluator dari luar. Sebagai contoh untuk evaluasi program pembelajaran pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran berkenaan dengan satu kompetensi dasar atau satu pokok bahasan evaluasi dilakukan oleh guru yang merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Sedangkan untuk evaluasi program pembelajaran pada setiap akhir semester atau pada akhir tahun dapat dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk dan diberi tanggung jawab oleh pimpinan sekolah, baik itu dilakukan oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum maupun bagian tertentu yang bertanggung jawab terhadap manajemen mutu sekolah.

VII. Kesimpulan

Peningkatan kualitas pembelajaran membutuhkan adanya peningkatan kualitas program pembelajaran secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Untuk meningkat- kan kualitas program pembelajaran membutuhkan informasi tentang implementasi program pembelajaran sebelumnya. Hal dapat diperoleh dengan dilakukannya evaluasi terhadap program pembelajaran secara periodik.
Untuk lebih mengoptimalkan hasil evaluasi program pembelajaran maka peran guru perlu lebih ditingkatkan. Kalau selama ini guru hanya sebagai perancang dan pelaksana program, maka ke depan perlu dilibatkan sebagai evaluator terhadap program pembelajaran. Dalam evaluasi program pembelajaran guru tidak cukup hanya menilai hasil belajar siswa saja, tetapi perlu mengevaluasi proses pembelajaran yang telah ber langsung sebelumnya. Untuk dapat melaksanakan peran sebagai evaluator program pembelajaran dengan baik, guru perlu dibekali pengetahuan dan kecakapan tentang evaluasi program pembelajaran (instructional program evaluation), mulai dari konsep, pemilihan model-model evaluasi program, penyusunan instrumen evaluasi sampai penyusunan laporan hasil evaluasi program pembelajaran.

Daftar Pustaka

Djemari Mardapi. (2000). Evaluasi pendidikan. Makalah disampaikan pada Konvensi Pendidikan Nasional tanggal 19 – 23 September 2000 di Universitas Negeri Jakarta.
Djemari Mardapi. ( 2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan non tes. Yogyakarta: Mitra cendekia
Ebel, R.L. & Frisbie, D.A. (1986). Essentials of educational measurement. Englewood Cliffs: Prentice- Hall, Inc.
Farida Yusuf Tayibnapis. (2000). Evaluasi program. Jakarta: Rineka Cipta
Griffin, P. & Nix, P. (1991). Educational assessment and reporting. Sydney: Harcout Brace Javanovich, Publisher.
Popham, W. J. (1995). Classroom assessment. Boston: Allyn and Bacon.
Oriondo, L. L. & Antonio, E. M.D. (1998). Evaluating educational outcomes (Test, measurement and evaluation). Manila: Rex Book Store
Stark, J.S. & Thomas, A. (1994). Assessment and program evaluation. Needham Heights: Simon & Schuster Custom Publishing.
Stufflebeam, D.L. & Shinkfield, A.J. (1985). Systematic evaluation. Boston: Kluwer Nijhof Publishing.
Sudarwan Danim. (2007). Visi baru manajemen sekolah. Jakarta: Bumi Aksara
Suharsimi Arikunto dan Cep Safrudin A.J. (2008). Evaluasi program pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Suharsimi Arikunto. (2008). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Pekerti-AA PPSP LPP Universitas Sebelas Maret. (2007). Panduan evaluasi pembelajaran. Solo: Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS.
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.