Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International
Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International
(Sekolah Bertaraf Internasional)
Di Susun dan Di Edit oleh:
(Implementer)
Bpk. Endang J*. S.Pd., Drs. Ahmad S*., Drs. Nanang S.*
SMAN 1 Kota Banjar, Jawa Barat. Indonesia.
Arip Nurahman
Department of Physics Education Indonesia University of Education, Bandung Indonesia
and
Follower Open Course Ware at Massachusetts Institute of Technology (MIT), Harvard University. Cambridge M.A., USA.
Apakah SBI ini akan membuat kita dapat mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara-negara lain?
Tunggu dulu.
Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.
Mengapa? Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini.
Pertama, program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut.
Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini.
Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar di luar negeri.
Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional karena mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka di universitas di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya.
Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti LN karena nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara. Permasalahannya adalah berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri?
Berapa persenkah dari lulusan sekolah publik kita yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri? Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge?
Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge,umpamanya, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang sangat misleading.
Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti dua kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge umpamanya, karena akan sangat menyulitkan bagi sekolah maupun murid untuk mengikuti dua kiblat tersebut. Beberapa sekolah National Plus yang selama ini memang dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus. (Bpk. Satria Dharma, Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE))
What makes a good school?
In today's public schools, where diversity is vast and complex, a good school must provide a strong functioning culture that aligns with their visionof purpose. Good schools depend on a strong sense of purpose and leadership. However, in order to build a culture that is integral to school life, principals must gear their students, faculty, and staff in a common direction and provide a set of norms that describes what they should accomplish.
Sergiovanni (2001) elaborates on the principal's influence in shaping school culture by stating that, once established in a school, strong culture acts as a powerful socializer of thought and programmer of behavior. Yet, the shaping and establishment of such a culture does not just happen; they are, instead, a negotiated product of the shared sentiments of school participants.
When competing points of view and competing ideologies exist in school, deciding which ones will count requires some struggling. Principals are in an advantageous position to strongly influence the outcome of this struggle.
The building of school culture further requires that building leaders pay close attention to the informal, subtle or symbolic aspects of school life. Teachers, parents, and students should look for answers to questions such as:
1. What is this school about?
2. What is important here?
3. What do we believe in?
4. Why do things function the way they do?
5. How do I fit into the scheme of things?
As Greenfield (1973) stated, what many people seem to want from schools is that schools reflect the values that are central and meaningful in their lives. If this view is correct, schools are cultural artifacts that people struggle to shape in their own image. Only in such forms do they have faith in them; only in such forms can they participate comfortably in them.
Leaders of successful schools develop moral order that bind the people around them together. When establishing culture, principals must be able to infuse various ideas, beliefs, values, theories and decision making into their school. Collaborative discourse is a powerful tool that can be used to facilitate the process of developing school culture and climate.
Leaders, who look to build their school communities, must recognize that educators, who work together, achieve a collective purpose resulting from their collegiality, which is critical in establishing a successful school. However, for meaningful collaboration to occur, capacity building must take place. Capacity building has frequently appeared in educational literature across the United States.
Ann Lieberman (1997) coined this term which means, organizing schools for improvement by allowing teachers to work in teams and with instructional leaders to channel staff efforts towards a clear, commonly shared purpose for student learning. When channeled correctly, these habits and conditions allow staff members to work and contribute to a professional community.
Such communities are places where teachers, specialist and building administrators engage in decision making, have a shared sense of purpose and work to support an infrastructure that involves alignment of instructions goals. Newmann and Wehlage in their 1995 work, Successful School Restructuring, firmly link student achievement to the effective work habits of adults stating that the most successful school were those that used restructuring to help them as professional communities.
Teachers and leaders collaborate and help one another achieve the purpose of student learning. Teachers and instructional supervisors in these schools help one another take responsibility for academic success. These schools which maintain a strong professional community are better able to offer authentic pedagogy and are more effective in promoting student achievement.
School leaders who give their attention to establishing their school culture by addressing the question, what is this school about, begin with a period of organization as the school initiates new collaborative processes that relates to norms, teams, vision, use of data, shared expectations, and ways of working together.
Standar Pengelolaan Pendidikan.
Sebagaimana juga telah ditetapkan dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005, dan lebih dijabarkan dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 bahwa “setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pengelolaan pendidikan yang berlaku secara nasional”, beberapa aspek standar pengelolaan sekolah yang harus dipenuhi adalah meliputi:
(1) perencanaan program,
(2) pelaksanaan rencana kerja,
(3) pengawasan dan evaluasi,
(4) kepemimpinan sekolah/madrasah, dan
(5) sistem informasi manajemen.
Standar perencanaan program sekolah meliputi: rumusan visi sekolah, misi sekolah, tujuan sekolah, rencana kerja sekolah. Standar pelaksanaan rencana kerja sekolah, maka harus terpenuhi dan terealisasi beberapa aspek dalam penyelenggaraan pendidikan yaitu: kepemilikan pedoman-pedoman sekolah yang mengatur berbagai aspek pengelolaan secara tertulis, struktur organisaisi sekolah, pelaksanaan kegiatan, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya danyang berlaku secara nasional lingkungan sekolah, dan peran serta masyarakat dan kemitraan.
Standar pengawasan dan evaluasi yang harus juga dipenuhi dan dilaksanakan sekolah adalah: aspek-aspek program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi dan pengembangan, evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan, dan akreditasi sekolah. Kepemimpinan sekolah yang diharapkan dapat dipenuhi oleh sekolah antara lain: adanya kepala sekolah yang memenuhi persyaratan, minimal satu wakil kepala sekolah yang dipilih secara demokratis, kepala sekolah memiliki kemampuan memimpin (pengetahuan, keterampilan, dan perilaku) sekolah, dan terdapat pendelegasian sebagian tugas dan kewenangan kepada wakilnya.
Sedangkan sistem informasi manajemen (SIM) merupakan suaru sistem yang mengaplikasikan berbagai bidang pendidikan berbasiskan komputer/internet. Hal ini diharapkan dapat dipenuhi oleh sekolah untuk mengelola dan hiendukung berbagai administrasi sekolah, memberikan fasilitas yang efisien, dan sebagai bentuk layanan informasi dan komunikasi kepada para pemangku kepentingan.
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH
Oleh Suparlan *)
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik
(Mahatma Gandhi)
Pertama, kita bentuk kebiasaan-kebiasaan kita. Setelah itu, kebiasaan-kebiasaan tersebutlah yang akan membentuk kita
(John C. Maxwell)
Kurang lebih satu jam sebelum menulis artikel ini, penulis sangat prihatin karena telah membaca e-mail tentang kesadisan seorang guru di Jombang yang telah menampar muridnya. Sebelumnya ada berita tentang seorang guru SMK yang telah menampar sekian orang siswanya. Bahkan jauh sebelumnya kita tentu mendengar berita di sebuah institutut pemerintahan dalam negeri (IPDN) -- yang mencetak birokrat pemerintahan -- telah berlangsung lama adanya bentuk-bentuk kekerasan para senior terhadap yuniornya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, budaya sekolah (school culture) yang seperti apakah sebenarnya yang ada di lembaga-lembaga pendidikan tersebut? Apakah lembaga pendidikan itu adalah lembaga pendidikan yang angker, seperti tempat yang menakutkan, atau lembaga pendidikan yang amburadul, seperti pasar yang kumuh, yang semua orang bebas keluar masuk, atau lembaga pendidikan yang terbuka, tertib, bersih, dan sehat.
Seperti apa lembaga pendidikan yang akan kita bangun, amat tergantung pada banyak faktor, mulai kondisi SDM-nya seperti kepala sekolah sampai dengan tenaga pendidik dan tenaga administrasinya sampai dengan peserta didiknya. Budaya sekolah juga amat dipengaruhi oleh sistem manajemen dan organisasinya, serta fasilitas sekolah yang mendudungnya. Suatu lembaga pendidikan berasrama milik militer atau kepolisian akan terlihat mulai dari adanya sistem penjagaan yang ketat. Begitu masuk pintu gerbang lembaga itu suasana itu sudah mulai terasa. Dua penjaga bersenjata lengkap berdiri di depan pos jaga yang siap akan menanyakan kepada semua tamu yang datang. Penjaga itu bisa saja siswa piket atau petugas outsourcing yang ditugasi untuk itu. Itulah budaya kasat mata yang dapat segera kita lihat.
Ada sebuah sekolah dasar yang lokasinya berada di kompleks perumahan. Para orangtua siswa atau para pengantarnya bergerombol di depan pintu gerbang sekolah. Bahkan para pedagang kecil membuka dagangannya di depan gedung sekolah. Suasananya bak pasar tumpah yang ramai. Para siswa mondar-mandir keluar-masuk sekolah. Kadangkala bersama dengan bapak ibu guru yang buru-buru masuk sekolah karena bel telah berbunyi keras sekali. Dan para siswa pun kemudian bersorak lari ke ruangan kelasnya masing-masing.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk budaya sekolah yang mencerminkan wajah lembaga pendidikan sekolah itu. Tulisan singkat ini akan menggambarkan beberapa budaya sekolah dan karakteristiknya.
Apakah budaya sekolah itu?
Peterson (1999) menjelaskan “school culture is the behind-the-scenes context that reflects the values, beliefs, norms, traditions, and rituals that build up over time as people in a school work together” Lebih dari itu, Peterson juga menambahkan bahwa budaya sekolah “influences not only the actions of the school population, but also its motivations and spirit”. Budaya sekolah adalah konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan nilai-nilai, norma-norma, tradisi-tradisi, rutual-ritual, yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya kepada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya. Dalam konsep sekolah efektif (effective school), budaya sekolah sering disebut sebagai suasana sekolah (school climate), dimaknai sebagai bagaimana warga sekolah berfikir dan bertindak.
Apakah Budaya Sekolah Berpengaruh Terhadap Pendidik dan Keberhasilan Siswa?
Sudah barang tentu, budaya sekolah dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, termasuk kepada pendidik dan peserta dididk. Budaya sekolah berpengaruh terhadap bagaimana pendidik berhubungan dan bekerja sama dengan semua warga sekolah, dengan sesama pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, pegawai tata usaha sekolah, dan juga kepada masyarakat. Nilai-nilai sosial budaya sangat berpengaruh terhadap bagaimana sekolah menghadapi masalah sekolah, dan sekaligus memecahkan masalahnya, termasuk masalah hasil belajar peserta didik.
Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya baru yang tumbuh dalam masyarakat. Ketika masyarakat masih memiliki paradigma lama dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya kepada sekolah, maka lahirlah satu bentuk hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat yang sangat birokratis. Orangtua dan masyarakat berada di bawah perintah kepala sekolah.
Tiga Model Budaya Sekolah dan Karakteristiknya
Dalam praktik di lapangan, ada tiga model budaya sekolah, yang satu dengan yang lain dapat dibedakan, tetapi kadang-kadang juga sering saling tumpang tindih. (Spahier & King, 1984 [as cited in Butler & Dickson, 1987])
Pertama, budaya sekolah birokratis (bureaucratic school culture). Model budaya sekolah ini antara lain ditunjukkan adanya budaya yang menekankan adanya petunjuk dari atasan. Kebijakan sekolah mengikuti arahan dari atasan, dan oleh karena itu para guru lebih banyak mengikuti arahan tersebut. Pendidik juga kurang dapat berinteraksi dengan orangtua siswa dan masyarakat, karena semua harus mengikuti peraturan dan ketentuan dari atasan.
Kedua, budaya sekolah racun (toxic school culture). Dalam model ini, peserta diddik dipandang sebagai masalah ketimbang sebagai pihak yang harus dilayani. Bentuk-bentuk kekerasan guru terhadap siswa yang sering kita dengar akhir-akhir ini merupakan hasil dari budaya sekolah yang seperti ini. Sama dengan pada model budaya sekolah yang birokratis, budaya sekolah racun ini juga malah jarang memberikan kesempatan kepada pendidik untuk memberikan masukan terhadap upaya pemecahan masalah yang terjadi di sekolah.
Ketiga, budaya sekolah kolegial (collegial school culture). Berbeda dengan kedua budaya sekolah sebelumnya, sekolah sangat memberikan apresiasi dan rekognisi terhadap peran dan dukungan dari semua pihak. Kejujuran dan komunikasi antarwarga sekolah dapat berlangsung secara efektif. Itulah sebabnya keterlibatan semua warga sekolah sangat dihargai dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Pendek kata, semua penyelenggaraan sekolah direncanakan, dilaksanakan secara demokratis, dalam suasana penuh kolegial.
Budaya sekolah apa saja yang harus dibangun?
Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Ingin menanam benih-benih kejujuran dalam masyarakat? Tanamlah di sekolah. Demikian seterusnya dengan benih-benih nilai-nilai sosial budaya lainnya. Dalam tulisan singkat ini hanya diberikan beberapa contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus ditanam di ladang bernama sekolah.
1. Pertama, kebiasaan menggosok gigi. Kebiasaan ini sangat Islami. Nabi Muhammad SAW selalu melakukan “siwak” dalam kehidupan sehari-harinya. Ada nilai religius dan medis yang dapat dipetik dari kebiasaan ini. Ucapan yang baik akan berasal dari mulut yang bersih. Secara medis, gigi dan mulut yang bersih akan berdampak terhadap kesehatan otak kita. Hasilnya sama dengan tinjauan dari sudut pandang religius.
2. Kedua, etika. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain yang bernama ibu dan ayah kita, dan kemudian hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang lain.
3. Ketiga, kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain. Kejujuran itu harus dibangun di sekolah. Bukan sebaliknya. Dari tinjauan inilah barangkali KPK telah membuat program kantin kejujuran di ribuan sekolah di negeri ini. Konon, materi materi matapelajaran matematika modern seharusnya menghasilkan manusia yang jujur di negeri ini. Apalagi dengan materi pelajaran Pendidikan Agama. Tetapi nyatanya tidak demikian. Malah telah menghasilkan banyak koruptor. Materi tentang penjumlahan, pengurangan, dan perkalian ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan materi tentang pembagian. Hasilnya, membagi kasih sayang, membagi pemerataan, dan membagi kebahagiaan ternyata jarang dilakukan ketimbang mengumpulkan hasil korupsi, mengalikan bunga bank untuk kekayaan pribadi. Oleh karena itu, maka budaya kejujuran harus dapat dibangun di sekolah.
4. Keempat, kasih sayang. Penulis pernah mengutip pandangan guru besar IKIP Surabaya, yang menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1) kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing sayang telah melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
5. Kelima, mencintai belajar. Mana yang lebih penting? Apakah menguasai pelajaran atau mencintai belajar? Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu. Dari sini lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada menghafalkan fakta dan data.
6. Keenam, bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab. Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa tanggung jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari keluarga.
7. Ketujuh, menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan peraturan karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
8. Kedepalapan, menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang lain karena berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang kita peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri sendiri ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.
9. Kesembilan, mencintai pekerjaan. Ingin berbahagia selamanya, maka bekerjalah dengan senang hati. Ini adalah kata-kata mutiara yang selalu melekat di hati. Pekerjaan adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai pekerjaan.
10. Kesepuluh, suka menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil pekerjaan kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang daripada pasak”. Tidak mempunyai penghasilan cukup tetapi tetap melakukan pola hidup konsumtif. Penghasilan pas-pasan, tetapi tetap menghabiskan uangnya untuk tujuan yang mubazir, seperti merokok. Kita masih jarang memiliki semangat menabung untuk masa depan.
11. Kesebelas, suka bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama di pedesaan kita. Pagi-pagi masih berkerudung sarung. Padahal, setelah shalat Subuh, kita diharuskan bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Untuk ini, suka bekerja harus menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.
12. Keduabelas, tepat waktu. Waktu adalah pedang, adalah warisan petuah para sahabat Nabi. Time is money adalah warisan para penjelajah ”rules of the waves” bangsa pemberani orang Inggris. Sebaliknya, jam karet adalah istilah sehari-hari bangsa sendiri yang sampai saat ini kita warisi. Mengapa warisan ini tidak dapat segera kita ganti? Maka tanamlah benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah kita.
Sudah barang tentu masih banyak lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam melalui ladang lembaga pendidikan sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk melalui proses pendidikan dan pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat kita. Amin.
References:
Barth, R. (1990). Improving schools from within. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Covey, S. (1990). Principle-centered leadership. New York: Simon & Schuster, Inc.
Goldhammer, R. (1980). Clinical supervision: Special methods for the supervision of teachers.New York:
Holt.
Greenfield, Thomas B (1984). Leaders and schools: Willfulness and non-natural order, in Thomas Sergiovanni and John E. Corbally (Eds.), Leadership and Organizational Cultur. Urbana-Champaign: University of Illinois Press.
Hoy, W., & Forsyth, P. (1986). Effective supervision: theory into practice. New York: McGraw-Hill Company.
Karp, S. (2005). The trouble with takeover. Educational Leadership, 62, (5), 28-32.
Lashway, L. (2003, July). Role of the school leader. Retrieved Feb 12, 2004, from http://eric.uoregon.edu/trends_issues/rolelead/index.html#providing
Lambert, L. (1998). Building leadership capacity in schools. Alexandria, VA: ASCD.
McEwan, E. (2003). 7 steps to effective instructional leadership. 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Corin Press.
McQuarrie, F., Wood, F. (1991, August). Designs on the job learning. Retrieved Feb 12, 2005, from http://www.nsdc.org/library/publications/jsd/wood203.pdf
Newmann, F., Wehlage T. (1996). Authentic achievement: Restructuring schools for intellectual quality. San Francisco, CA:
Jossey-Bass. Patterson, W. (2003). Breaking out of our boxes. Phi Delta Kappan, 84, (8), 569-577.
Sergiovanni, T. (2001). The Principalship: A reflective practice. 5th ed. San Antonio, TX: Trinity Press.
http://www.idonbiu.com/2009/07/standar-pengelolaan-pendidikan.html
Selasa, 05 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar